BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Pada
bulan Ramadhan tahun 2016 kemarin, terdabat berita yang tidak asing di telinga
masyarakat. Berita tersebut tidak lain adalah tentang kebijakan pemerintah
mengenai daging sapi impor. Kebijakan ini dibuat oleh pemerintah lantaran untuk
menekan harga daging sapi yang melonjak tidak terkendali. Namun pada
kenyataannya kebijakan impor daging sapi tidak dapat menekan harga dafing sapi
yang terus berada pada harga yang tergolong kategori mahal.
Kebijakan
impor daging sapi ini menuai banyak pro dan kontra. Ada yang setuju dan tidak
setuju. Hal tersebut akan kami bahas dalam pembahasan di BAB II. Makalah ini
kami buat agar kita dapat mengetahui apakah kebijakan ini sesuai dengan
pasal-pasal yang terdapat dalam Pancasila.
I.2. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kebijakan daging sapi impor jika dipandang dari pasal-pasal yang terdapat dalam
Pancasila?
2.
Mengapa
kebijakan daging sapi impor tidak sesuai dengan Pancasila?
I.3. Tujuan
1.
Untuk meninjau
kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan Pancasila.
2.
Untuk mengetahui
pro dan kontra kebijakan pemerintah tentang daging sapi impor
3.
Untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan daging sapi impor tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kebutuhan pangan asal ternak sangat
dibutuhkan bagi pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan anak usia dini sampai remaja.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini pe-taan produk petemakan cenderung terus
meningkat, seirama dengan, perkembangan ekonomi masyarakat, perbaikan tingkat
pendidikan, serta perubahan gaya hidup sebagai akibat ms globalisasi dan
urbanisasi. Peluang pasar yang sangat besar ini belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan
oleh para pelaku di dalam negeri yang bergerak pada usaha sapi lokal. Hal ini
diturjukkan oleh membanjirnya produk-produk impor baik bakalan sapi hidup
maupun daging sapi dan produk derivatnya
Memasuki bulan Ramadhan, kebutuhan
daging sapi masyarakat semakin meningkat. Sehingga membuat harga daging sapi
semakin melonjak. Berbagai usulan dimunculkan berbagai pihak untuk
menstabilkan harga daging sapi, tetapi Presiden Joko Widodo meyakini harga
daging sapi mulai stabil pada pekan kedua Ramadan setelah daging impor itu
didistribusikan. Seiring dengan melonjaknya harga daging sapi, pemerintah
mengambil kebijakan untuk mengimpor daging sapi agar menstabilkan stok dan
harga dalam jangka pendek.
“Sejauh ini
(yang mengimpor) BUMN, tapi kami membuka sekarang, swasta boleh mengimpor.
Hingga 20.000 ton beberapa minggu ini, termasuk impor oleh swasta," kata
Thomas selaku Menteri Perdagangan. Saat berada di Yogyakarta, pada hari Senin
23 Mei 2016, Presiden Joko Widodo menyatakan telah memerintahkan sejumlah
menterinya agar berupaya menurunkan harga daging sapi menjelang Lebaran. Presiden
Joko Widodo lantas mematok harga daging sapi harus turun hingga di bawah
Rp80.0000 per kilogram sebelum Lebaran tiba. Ketika Presiden melontarkan
pernyataan ini, harga daging sapi di sejumlah pasar domestik sudah ada yang
mencapai Rp120.000 hingga Rp130.000 per kilogram. Kepada wartawan, pada hari
Selasa 31 Mei 2016, Presiden Jokowi mengatakan daging sapi impor sedang dalam
proses pengiriman. Presiden mengharapkan daging impor tersebut sudah tiba pada
pekan pertama bulan Ramadhan.
Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) menilai upaya
pemerintah untuk mengimpor 10.000 ton daging beku sudah tepat, namun untuk
jangka pendek. Pasalnya, jika pemerintah hanya mengandalkan Bulog dalam jangka
panjang sebagai importir sapi dan sapi bakalan, dengan mereduksi peran importir
swasta, maka itu akan merusak investasi dalam negeri.
Direktur
Eksekutif Apfindo Johny Liano mengatakan, sumber pasokan daging sapi dalam
negeri mengandalkan 3 sumber. Yakni sapi lokal, sapi bakalan impor, dan daging
sapi impor siap potong. “Saat ini sudah ada 35 importir yang berasal dari anggota Apfindo. Bahkan,
diantara perusahaan importir itu sudah ada yang berumur 20 tahun. Jadi,
sekarang investasi sudah ada, ini harusnya dijaga oleh pemerintah untuk
dikembangkan,” kata Johny selaku Direktur Eksekutif Apfindo, di Jakarta, Rabu 9 September
2015.
Sementara itu, menurut para importir daging beku swasta, keputusan
pemerintah yang berencana menugaskan Bulog untuk mengimpor hingga 10.000 ton
daging sapi beku, dianggap sebagai langkah yang keliru. Dikatakan Thomas
Sembiring, Ketua Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (APIDI),
daging sapi beku hanya bisa diimpor untuk keperluan horeka atau hotel,
restoran, dan katering. Selain itu, daging beku tidak bisa dijual bebas ke
pasar umum seperti rencana Bulog untuk operasi pasar.
Bahkan, ditegaskan oleh Menteri Perdagangan, Thomas, rencana pemerintah terhadap Bulog justru melanggar aturan, seperti
yang tertera dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 tahun 2014 tentang
pemasukan karkas daging, dan/atau olahannya ke dalam wilayah Indonesia. Karena
itu, tak heran jika Thomas menilai, alasan pemerintah mengambil langkah
penugasan Bulog mengimpor daging sapi beku bukan untuk menyelesaikan masalah
yang ada.
Daging sapi beku eks impor yang dijual dengan harga murah
diyakini mampu menurunkan harga daging secara nasional. Namun demikian,
masyarakat masih memilih membeli daging sapi segar meski harganya lebih tinggi. Ketua Komite
Daging Sapi Jakarta Raya, Sarman Simanjorang, mengakui bahwasanya daging sapi
beku belum populer dimasyarakat, padahal kualitasnya sama. Bahkan daging sapi
beku impor memiliki kelebihan dari sisi higienis, ketimbang daging segar yang
dijual di pasar tradisional.
Sarman pernah meninjau secara langsung proses pemotongan
daging sapi di Australia yang secara kualitas maupun kuantitas lebih unggul
dibandingkan proses yang dilakukan di Indonesia. Menurut Sarman,
ketidakpopuleran daging sapi beku di Indonesia disebabkan oleh faktor budaya
saja. Oleh sebab itu ia mengimbau masyarakat agar tidak ragu membeli dan
mengonsumsi daging beku yang dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan
dengan daging sapi segar.
Namun demikian, Sarman menekankan kepada Pemerintah agar
tidak menjual daging sapi beku impor di pasar tradisional. Alasannya,
kelangsungan usaha para pedagang daging sapi segar akan terganggu, karena jelas
ada perbedaan harga antara daging sapi beku dengan daging sapi segar. Menanggapi
daging sapi beku impor yang harganya murah, Ekonom Institute for Development of
Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati memastikan bahwa hal itu akan
menimbulkan kerugian di kalangan peternak dan pedagang tradisional. Yang
diuntungkan hanyalah para pengusaha yang memiliki akses impor daging sapi.
Menurut Enny, lebih dari enam juta peternak dengan lebih
dari 15 juta sapi akan menanggung potensi kerugian mencapai Rp70 triliun. Dasar
perhitungannya, jika ingin harga daging sapi lokal Rp80 ribu per kg, maka harga
sapi hidup yang saat ini Rp45 ribu per kilogram bobot hidup harus turun menjadi
Rp30 ribu. Enny juga menyebut keinginan pemerintah menurunkan
harga daging sapi menimbulkan kejanggalan dan spekulasi. Seharusnya kebijakan
harga berdasarkan biaya produksi daging sapi lokal, bukan pada impor daging
beku yang belum jelas kualitasnya.
Tetapi, samai minggu kedua bulan
Ramadhan, harga daging sapi tidak juga turun sesuai dengan yang diharapkan,
yaitu Rp 80.000,00. Hal ini dikarenakan terdapat permainan dari pihak
distributor. Tetapi, seorang Pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy menilai harga daging sapi Rp
80 ribu per kilogram landasannya adalah impor daging, bukan kepada produksi
daging dalam negeri. Kalau landasannya adalah produksi daging dalam negeri,
ujarnya, itu juga tidak realistis. Sebab bahan pakan ternak seluruhnya impor
dan itu harus dibayar dengan dolar. Sementara produksi daging sapi, sekitar 70
persen biayanya adalah soal pakan. “Patokan harga daging sapi itu dasarnya impor. Jadi itu bukan
putusan struktural yang berbasiskan produk daging sapi dalam negeri, tapi
mengulangi kesalahan terus-menerus,” kata Noorsy, dalam Dialektika Demokrasi
“Monopoli dan Stabilitas Harga Jelang Ramadan” di Pressrom DPR, Senayan,
Jakarta, Kamis, 2 Juni 2016. Dengan kata lain, tidak dapat turunnya harga
daging tersebut dikarenkan salah satunya yaitu karena pemerintah yang terlalu
mengikuti kemauan para importir atau distributor. Seperti kata Ichsanuddin
Noorsy, “Patokan harga daging sapi itu dasarnya impor. Jadi itu bukan putusan
struktural yang berbasiskan produk daging sapi dalam negeri, tapi mengulangi
kesalahan terus-menerus,” kata Noorsy, dalam Dialektika Demokrasi “Monopoli dan
Stabilitas Harga Jelang Ramadan”.
Menurut sudut pandang kami mengenai
permasalahan ini kami sangat kurang setuju dengan kebijakan pemerintah yang
terlalu tergesa-gesa dengan mengimpor daging. Tujuan pemerintah untuk menekan
harga daging sangat benar tetapi pemerintah kurang memahami keadaan pasar
sebenarnya dimana banyak terjadi permainan didalam harga, maupun didalam sistem
di bulog daging yang hanya ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
pemerintah seharusnya langsung terjun ke lapangan dahulu untuk studi kasus
mengenai permainan pasar ini dan menegur para mafia-mafia daging yang ada di
lapangan. Selain itu, pemerintah juga kurang menimbang dampak dari mengimpor
daging sapi ke Indonesia. Hal tersebut akan dapat membuat para peternak
kehilangan harga sapi hidup mereka. Kenapa? Karena dengan datangnya daging
impor akan menekan harga daging sapi di peternak. Tetapi, di pasaran harganya
tidak kunjung turun. Hal inilah yang seharusnya di usut oleh pemerintah dan
bukannya terburu-buru mengabil keputusan untuk mengimpor daging dari luar
negeri.
Keputusan pemerintah untuk mengimpor
daging sangat menguntungkan bagi para konsumen saja sedangkan para
penjual-penjual yang menjual merugi akibat harga yang terjun jauh dibawah harga
sebenarnya tidak hanya itu saja para peternak sapi-peternak sapi lokal juga
sama lebih meruginya dengan tidak lakunya sapi-sapi ternakkannya sehingga berkurangnya
pendapatan dari si peternak tersebut. Hal ini akan menjadi sangat tidak adil
bagi para peternak sapi yang harus mendapat pendapatan yang lebih kecil dan
tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila yaitu sila ke
lima yang berbunyi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
III.1.
Kesimpulan
1.
Kebijakan
pemerintah tentang daging sapi impor tidak dapat menekan harga daging sapi yang
tinggi.
2.
Kebijakan
peerintah tentang daging sapi impor tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
terdapat dalam Pancasila.
3.
Faktor yang menyebabkan
daging sapi tidak dapat turun yaitu karena banyak distributor yang bermain
curang.
III.2.
Saran
1.
Daripada
mengimpor daging sapi, sebaiknya pemerintah mengatasi para distributor yang
bermain curang.
2.
Seharusnya
pemerintah memberi bantuan kepada para peternak agar dapar mengembangkan
peternakannya. Sehingga, hasil ternak mereka mencukupi kebutuhan masyarakat dan
menekan harga daging sapi.
DAFTAR
PUSTAKA
Affan,
Heyder. 2016. “Memasuki
Ramadan, harga daging sapi 'masih bergejolak'“
(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160605_indonesia_hargapangan_ramadan).
Anonim. 2016. “Aneh, Birokrat Ikut Permainan
Importir Daging” (http://www.jpnn.com/read/2016/06/02/425001/Aneh-Birokrat-Ikut-Permainan-Importir-Daging-Sapi)
Ariyanti, Fiki. 2016. “Menkeu: Penyelundupan Impor Daging Sapi ke RI
Naik 10 Kali Lipat”(http://bisnis.liputan6.com/read/2543589/menkeu-penyelundupan-impor-daging-sapi-ke-ri-naik-10-kali-lipat).
Kurniawan,
Yudi. 2015. “Pro dan Kontra Pemerintah Impor Daging Sapi Beku” (http://citraindonesia.com/pro-dan-kontra-pemerintah-impor-daging-beku/)
0 komentar:
Posting Komentar